A. Perintah Berwudhu Sebelum Sholat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bangkit untuk sholat maka basuhlah wajah dan tangan-tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, lalu basuhlah kaki kalian hingga mata kaki.” (QS. al-Ma’idah: 6)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Banyak ulama salaf yang mengatakan bahwa maksud dari “Wahai orang-orang yang beriman, apabila…” adalah apabila kalian berada dalam keadaan berhadats. Sebagian yang lain mengatakan: apabila kalian bangun dari tidur untuk mengerjakan sholat. Kedua pendapat ini berdekatan. Namun, para ulama yang lain ada yang mengatakan bahwasanya makna perintah ini lebih luas daripada itu. Ayat ini memerintahkan untuk berwudhu di saat hendak melakukan sholat. Akan tetapi, bagi orang yang berhadats perintah ini bernilai wajib. Adapun bagi orang yang dalam keadaan suci hukumnya sunnah. Ada pula yang berpendapat, bahwa perintah untuk berwudhu setiap kali hendak sholat pada awal masa Islam adalah wajib, kemudian kewajiban ini dihapuskan/dinasakh.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/33])
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Zahir teks dari ayat ini menunjukkan wajibnya berwudhu setiap kali hendak melakukan sholat. Akan tetapi, dengan penjelasan dari as-Sunnah dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kita bisa mengetahui bahwasanya maksud dari “apabila kalian bangkit untuk sholat” adalah apabila kalian sedang berada dalam keadaan tidak suci. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak akan menerima sholat salah seorang dari kalian apabila dia berhadats hingga dia berwudhu.”.” (lihat Ma’alim at-Tanzil hal. 361)
B. Harus Dengan Niat
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebagian ulama menarik kesimpulan hukum dari firman Allah ta’ala, “Apabila kalian bangkit untuk sholat.” bahwasanya wajibnya berniat sebelum berwudhu. Sebab kelengkapan maksud ayat ini adalah ‘apabila kalian hendak bangkit mendirikan sholat, maka berwudhulah terlebih dulu untuk melakukannya.” (lihat Fath al-Bari [1/281])
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Firman Allah ‘azza wa jalla, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bangkit untuk sholat.” maksudnya adalah apabila kalian hendak bangkit untuk sholat. Ayat ini serupa dengan firman Allah ta’ala, “Apabila kamu membaca al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (QS. an-Nahl: 98). Maksud ayat ini adalah; apabila kamu hendak memulai membaca.” (lihat Ma’alim at-Tanzil hal. 361)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak sah wudhu ataupun ibadah-ibadah yang lain kecuali dengan niat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amalan itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim 1907).” (lihat Syarh ‘Umdat al-Fiqh [1/74] karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin)
Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Dalam konteks syari’at, niat memiliki dua sisi pembahasan. Salah satunya adalah niat dalam artian ikhlas dalam beramal untuk Allah semata. Ini adalah makna niat yang paling tinggi. Niat dalam makna ini dibicarakan oleh para ulama tauhid, akhlak dan perilaku. Adapun yang kedua, adalah niat yang berfungsi untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah yang lain. Niat dalam makna ini dibicarakan oleh para fuqoha/ahli fikih.” (lihat Taisir al-‘Allam Syarh ‘Umdat al-Ahkam [1/10])
C. Niat Tidak Perlu Diucapkan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, bahwa niat secara bahasa adalah kehendak. Adapun secara istilah, niat adalah tekad yang kuat di dalam hati untuk melakukan sesuatu, baik itu untuk urusan ibadah, muamalah, ataupun adat/kebiasaan. Tempat niat adalah di dalam hati. Niat tidak ada sangkut pautnya dengan lisan, dan tidaklah disyari’atkan untuk mengucapkan niat dengan lisan ketika hendak melakukan suatu ibadah. Kalau ada yang berkata; Mengapa tidak dikatakan bahwa disyari’atkan untuk mengucapkan niat supaya lebih ada kesesuaian antara hati dengan lisan dan bahwasanya hal itu perlu dilakukan ketika hendak melakukan ibadah?
Maka jawabnya adalah: bahwasanya hal itu adalah menyelisihi Sunnah. Kalau ada yang berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kan tidak melarangnya? Jawabnya: 1. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu ajaran di dalam agama kami ini yang tidak ada tuntunan darinya maka dia pasti tertolak.” (Muttafaq ‘alaih) 2. Bahwasanya segala sesuatu yang telah ada sebabnya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak melakukannya, maka itu adalah dalil yang menunjukkan bahwa melakukan hal itu bukanlah Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah biasa berniat untuk melakukan ibadah-ibadah tatkala hendak melakukan suatu ibadah sementara beliau tidak pernah mengucapkan apa yang dia niatkan.
Sehingga, meninggalkan sesuatu ketika ada faktor penyebabnya itulah yang Sunnah. Adapun melakukannya justru bertentangan dengan Sunnah. Oleh sebab itu tidak disunnahkan untuk mengucapkan niat, baik secara lirih maupun keras, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh para fuqoha kita (madzhab Hanbali, pent) yang menyatakan bahwa disunnahkan untuk mengucapkan niat secara lirih. Dan juga tidak sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama dari kalangan selain mereka (selain madzhab Hanbali) yang menyatakan bahwa disunnahkan untuk mengucapkan niat dengan keras. Ini semuanya adalah tidak ada dasarnya. Dan dalil yang ada justru bertentangan dengannya (lihat asy-Syarh al-Mumti’ [1/298-299])
Syaikh Dr. Muhammad Shidqi berkata, “Tempat niat adalah di dalam hati. Apabila seorang mengucapkan niatnya dengan lisan sementara niat itu tidak ada di dalam hatinya maka hal itu tidak dianggap. Sebagaimana pula tidak ada yang mempersyaratkan niat itu harus dilafalkan untuk menyertai niat di dalam hatinya. Tidak pula dinukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya bahwasanya mereka melafalkan niat. Tidak dalam hadits sahih, bahkan tidak juga dalam hadits yang dha’if. Kecuali pada ibadah haji yang memang berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain.” (lihat al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 142)
Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah berkata, “Mengeraskan niat bukan sesuatu yang wajib, juga bukan sesuatu yang dianjurkan dengan kesepakatan ulama kaum muslimin. Bahkan, orang yang mengeraskan niat adalah orang yang melakukan kebid’ahan dan menyelisihi syari’at. Apabila dia melakukan hal itu dengan keyakinan bahwa hal itu termasuk bagian dari syari’at, maka dia adalah orang yang tidak paham (jahil) dan berhak diberi pelajaran. Kalau dia tetap saja bersikeras, maka dia layak untuk diberi hukuman atas perbuatannya itu apabila dia terus mempertahankannya padahal sudah diberikan pengertian dan keterangan kepadanya. Terlebih lagi, apabila dengan perbuatannya itu dia mengganggu orang yang berada di sampingnya, akibat dia mengangkat suaranya atau mengulang-ulang ucapan niat itu berkali-kali. Telah datang keterangan-keterangan dari para ulama dari berbagai masa dan berbagai negeri yang menunjukkan bahwasanya mengeraskan niat adalah bid’ah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa amalan itu adalah sunnah, sesungguhnya dia telah keliru.” (lihat al-Muhkam al-Matin fi Ikhtishar al-Qaul al-Mubin, hal. 48)
D. Tidak Ada Bid’ah Hasanah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS. al-Ma’idah: 3).
Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu ajaran bid’ah dan dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama kalian.” Maka apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk agama, pada hari ini ia juga bukan termasuk agama.” (lihat al-Luma’ fi ar-Radd ‘ala Muhassini al-Bida’, karya Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani, hal. 8-9)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan: Adapun bid’ah secara bahasa artinya adalah perkara yang diada-adakan. Kalau ditinjau dari makna istilahnya, maka bid’ah artinya segala sesuatu yang diada-adakan di dalam agama yang menyelisihi pijakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa akidah maupun amalan. Hukum dari bid’ah itu adalah haram berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Dan juga dilandaskan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jauhilah oleh kalian segala perkara baru yang diada-adakan -dalam agama- karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah pasti sesat.” (Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 40 tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud)
Dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: Pada suatu hari tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat mengimami kami, kemudian beliau menghadap kepada kami. Beliau pun memberikan nasehat kepada kami dengan suatu nasehat yang meneteskan air mata dan membuat hati merasa takut. Maka ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah! Seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah. Apakah yang hendak anda pesankan kepada kami?”. Beliau pun bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan patuh, meskipun pemimpinmu adalah seorang budak Habasyi. Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku niscaya akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu berpegang teguhlah kalian dengan Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang lurus lagi mendapat hidayah. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap ajaran yang diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, disahihkan Syaikh al-Albani)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan agama kami ini suatu ajaran yang bukan berasal darinya maka dia pasti tertolak.” (Muttafaq ‘alaih). Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Semua bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang melihatnya sebagai kebaikan.” (lihat al-Luma’ fi ar-Radd ‘ala Muhassini al-Bida’, hal. 14)
E. Merasa Cukup Dengan Tuntunan
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Beliau radhiyallahu’anhu juga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama kami tetap berpegang teguh dengan atsar.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu berkata, “Hendaknya kalian berpegang dengan jalan yang benar dan mengikuti Sunnah. Karena tidaklah seorang hamba yang tegak di atas jalan yang benar dan setia dengan Sunnah, mengingat ar-Rahman dan kemudian kedua matanya meneteskan air mata karena rasa takut kepada Allah, lantas dia akan disentuh oleh api neraka selama-lamanya. Sesungguhnya bersikap sederhana di atas Sunnah dan kebaikan itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi jalan yang benar dan menentang Sunnah.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama kita dahulu senantiasa mengatakan: Apabila seseorang itu berada di atas atsar, maka itu artinya dia berada di atas jalan yang benar.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47).
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berusaha meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah-bid’ah.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48)
Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Sunnah para Sahabatnya radhiyallahu’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir diantara mereka; semisal al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)
Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Tidaklah ada di dunia ini seorang ahli bid’ah kecuali dia pasti membenci ahli hadits. Maka apabila seorang membuat ajaran bid’ah niscaya akan dicabut manisnya hadits dari dalam hatinya.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 124)
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)